Minggu, 29 Mei 2011

POLIGAMI DALAM REALITA

POLIGAMI DALAM REALITA
MASYARAKAT

 Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Ilmu Budaya Dan Sosial Dasar”


Dosen Pengampu :
"Ririn Risnawita Suminta, M.Si."




















Oleh :

TAUFIQ ISMAIL             : 901102308
                                               


Jurusan Syari'ah al-Ahwal al-Syakhsiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
( STAIN )  KEDIRI
2008


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam dengan segenap kesempurnaan syariatnya telah melegalkan nikah sebagai media sah penyaluran naluri seks manusia yang merupakan gejolak alami dari kebutuhan fitrah biologis. Suatu gejolak yang memiliki ekses negatif dan fatal bagi yang lemah dan tidak sanggup membendungnya. Luapan seks diluar nikah adalah perilaku keji yang menodai norma – norma agama dan tindakan destruktif terhadap garis – garis generasi. Disinilah makna dasar (faedah) dari sebuah pernikahan dilegislasikan, disamping guna mencicipi kurnia surgawi, nikah memiliki fungsional urgen dalam menjaga kerancauan dan kekacauan garis keturunan manusia. Nikah merupakan peristiwa sakral yang mempertemukan dua kategoris berbeda dalam satu bahtera tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk bersama mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan.
Lebih dari itu, Islam telah menetapkan legalitas poligami yang dengannya dapat menjadi solusi alternatif dari pertimbangan sosial masyarakat. Bagaimana tidak, fakta empiris populasi wanita yang selalu eksis mendominasi jumlah laki – laki, nasib dan  martabat sekian wanita tersebut hanya akan  tertolong secara terhormat dengan  praktek poligami. Menolak poligami berarti menelantarkan sekian nasib wanita dalam kesendirian dan  kegelisahan nyata. Menolak poligami berarti juga merampas hak sekian wanita untuk mendapat naungan  cinta kasih dalam sebuah rumah tangga dan  mengebirinya dari keberlangsungan proses kehidupan. Fenomena demikian tidak memunculkan peluang apapun selain menggiring wanita ke lembah prostitusi yang akan melahirkan generasi – generasi tanpa nasab.
Dari latar belakang diatas kami akan membahas hal – hal yang berkaitan dengan  poligami.
B.     Rumusan Masalah
  1. Apa itu poligami ?
  2. Bagaimana analisa sejarahnya ?
  3. Sejauh mana respon masyarakat terhadap poligami ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Poligami
Kata – kata poligami (Ta’adud Azzaujaat) berasal dari bahasa Yunani. Poli atau Polus yang mempunyai arti banyak, Gamien atau Gamos yang berarti perkawinan. Secara harfiyah, poligami berarti perkawinan lebih dari satu orang. Lebih detailnya, poligami terklasifikasi menjadi poliandri dan poligini. Poliandri merupakan pernikahan perempuan dengan pasangan                   laki – laki lebih dari satu orang. Sedangkan poligini adalah perkawinan laki – laki dengan mempelai perempuan lebih dari satu. Tetapi dalam tatanan wacana yang terbatas, poligami sering digunakan dalam arti yang lebih sempit untuk mewakili trem poligini.[1]
Dalam menanggapi masalah poliandri, secara tegas islam tidak memperbolehkannya. Terbukti, sebagian syarat seorang wanita boleh dinikahi, adalah tidak memiliki ikatan pernikahan dengan orang lain.[2]

B.     Analisa Sejarah Poligami
Data statistik sejarah menunjukkan  bahwa realitas poligami telah lama berlangsung ditengah masyarakat jauh sebelum risalah Muhammad SAW. Seperti tercatat dalam lembaran sejarah bahwa Nabi Dawud as memiliki isteri sebanyak seratus wanita dn bahkan puteranya Nabi Sulaiman memiliki tiga ratus isteri diluar wanita – wanita dari tawanan (sarori) yang juga dibawah naungannya. Ibn Abdissalam menuturkan bahwa dalam syariat Nabi Musa as laki – laki diperbolehkan poligami tanpa dibatasi jumlah. Syariat Nabi Musa ini lebih memprioritaskan kepentingan hasrat seksualitas laki – laki yang memang cenderung lebih kuat dari hasrat wanita. Sedangkan dalam syariat Nabi Isa as melarang praktek poligami. Laki – laki hanya diperbolehkan beristerikan satu wanita. Dalam  syariat Nabi Isa lebih menoleransi terhadap sensitifitas perasaan  wanita yang pencemburu meski harus mengabaikan hasrat seks laki – laki yang lebih dominan.  Adapun syariat Nabi Muhammad SAW berusaha mengkompromikan masing – masing kepentingan laki – laki dan wanita yaitu keseimbangan antara hasrat seks laki – laki dan sensitifitas kecemburuan  wanita, sehingga syariat Muhammad melegalkan poligami namun tetap membatasi.[3]
Kedatangan risalah Muhammad pada dasarnya bukanlah untuk menciptakan legislasi poligami melainkan lebih bertujuan untuk memberikan batasan – batasan normatif serta bimbingan  terhadap praktek poligami,  sebab praktek ini jauh sebelum Islam datang telah menjadi realitas masyarakat. Islam datang dan memasuki ruang masalah ini demi perbaikan – perbaikan syarat – syarat khusus, memberikan formulasi terarah untuk memandu menetralisir atau setidaknya meminimalisir keburukan yang terjadi di masyarakat Kehadiran Islam dimaksudkan demi merumuskan undang – undang yang akan melindungi hak – hak wanita yang kerap terlupakan serta menjunjung kehormatannya dalam status sosial masyarakat.[4]

C.    Pro – Kontra Poligami
  1. Poligami Dalam Pandangan Kaum Liberal
Kalangan anti – poligami dengan acak menarik kesimpulan  bahwa pada hakikatnya Nabi membenci praktek poligami karena akan melukai perasaan wanita terbukti ketika puterinya Fathimah Az – Zahra, hendak dimadu oleh Ali beliau melarangnya kecuali bersedia menceraikan Fathimah.
Diluar penafsiran dan penyimpulan terhadap ayat – ayat dan hadits secara acak dan seranpangan tersebut, kalangan anti – poligami juga membuat sejumlah argumen – argumen sepihak dan emosional yang lebih dipengaruhi oleh semangat egaliter. Diantara argumen apriori kalangan ini adalah seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dalam bukunya “Islam Menggugat Poligami”. Ia menulis poligami sesungguhnya merupakan akumulasi daros edikitnya tiga faktor : Pertama, lumpuhnya sistem hukum khususnya UU perkawinan; kedua, masih kentalnya budaya patriarki dimasyarakat yang memandang isteri hanyalah ”konco wingking”; dan ketiga, kuatnya interpretasi agama yang bias gender dan tidak akomodatif terhadap nilai – nilai kemanusiaan. Simpul penulis buku ini menilai bahwa poligami merupakan praktek penindasan dan penganiayaan terhadap kaum wanita yang tidak sesuai dengan asa kemanusiaan. Lebih dari itu Musdah juga pernah menyatakan ”praktek poligami mempunyai banyak ekses negatif seperti peningkatan angka kekerasan dalam  rumah tangga, penelantaran nasib anak dan penularan penyakit kelamin”.
Argumen penolakan poligami juga dilontarkan oleh Muhammad Abduh, seorang mantan Syeikh Al – Azhar yang menjadi pendukung paham liberal. Abduh menyatakan poligami hukumnya haram qoth’I, karena syarat yang diminta adalah berlaku adil dan itu mustahil dipenuhi manusia. Dalam  kesempatan lain Abduh menegaskan tiga alasan hukum haram poligami ini. Pertama, syarat poligami adalah adil dan  keadilan ini telah ditegaskan Allah dalam An – Nisa : 129 sebagai suatu yang mustahil dilakukan suami. Kedua, buruknya perlakuan suami terhadap isteri – isterinya dalam kewajiban memberikan nafkah dan kasih sayang lahir batin secara adil. Ketiga, dampak psikologis anak – anak dari hasil pernikahan poligami, mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran rumah tangga akibat kecemburuan antar isteri.
Pernyataan senada dari kalangan  anti – poligami adalah bahwa poligami hanya akan menghilangkan keharmonisan rumah tangga karena riskan menimbulkan pertengkaran suami isteri dan antar isteri yang akan mewariskan persengketaan antar anak dan hal ini secara tidak langsung akan menimbulkan perpecahan kekeluargaan yang ektrim. Dampak lain dari suasana rumah tangga yangs eperti neraka jahanam ini adalah terlantarnya nasib anak – anak dan menimnya kasih sayang orang tua serta tercampakkannya pendidikan anak – anak sehingga tumbuh dewasa menjadi generasi minim pengetahuan, liar dan anarkhis. Poligami hanya akan melahirkan penyakit – penyakit sosial dan masyarakat krisis moral.

  1. Poligami Dalam Pandangan Kaum Feminis
Alasan yang paling semarak didemonstrasikan para penentang poligami adalah argume – argumen yang berbasis pada perasaan dan psikologis wanita, sehingga apapun nuansa bahasa yang mereka demonstrasikan lebih bernafaskan emosi kewanitaan. Mereka menyatakan bahwa kekerasan rumah tangga dalam keluarga poligami sangat melukai psikologis wanita, karena setiap perempuan pada dasarnya tidak ada yang bersedia dimadu. Naluri wanita mana yang merelakan kasih sayang suami di bagi dengan wanita lain. Kalaupun terdapat sebagian istri yang mungkin menerima dimadu, secara jujur sebenarnya hanyalah ekspresi  munafik dari sebuah keterpaksaan yang memilukan, dan bukan ketulusan dari nurani yang ikhlas.
Pandangan yang paling parahbelakangan ini adalah suara dari kaum feminis. Bagi kaum feminis bolehnya poligami tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Jangankan poligami, monogami kalau perlu mereka tolak, sebab bagi mereka  untuk memenuhi kebutuhan seksual yang efektif dan efisien adalah dengan seks bebas seusai program mereka “Empowerment of Women” yang di Indonesia dikenal “Perberdayaan Perempuan “ yang menekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan di bidang ekonomi sehingga perempuan  tidak perlu lagi bergantung pada laki – laki. Kemandirian perempuan dalam bidang ekonomi sekaligus dukungan terhadap kesehatan reproduksinya, secara bertahap akan membuat perempuan tidak lagi mementingkan, secara bertahap akan membuat perempuan tidak lagi mementingkan institusi keluarga. Seperti di negara – negara pelopor kebebasan perempuan. Dimata mereka, jangankan poligami, pernikahan pun tidak lagi penting. Seks bebas menjadi solusi hak reproduksi perempuan.[5]

  1. Poligami Dalam Pandangan Kaum Islam
Islam tidak mengenal istilah kesetaraan sebagai asas kehidupan yang mutlak, sebab hal itu bertentangan dengan sistem penciptaan yang telah ditetapkan oleh Alloh SWT.
Islam hanya mengenal istilah keadilan dan ihsan sebagai asas kehidupan. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesetaraan, itu hanya ketika realitas individu benar – benar setara secara persis dalam keadilan sifat – sifatnya, dan apabila dalam realitas terjadi tafadlul, maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil) , karena pernyataan antara dua hal yang tafadlul  adalah tindakan aniaya yang bertentangan dengan asas keadilan. Adalah mustahil yang kurang disetarakan dengan yang sempurna, mustahil yang hak disetarakan dengan yang batil, mustahil yang alim disetarakan dengan yang jahil, mustahil laki – laki disetarakan dengan  perempuan dan seterusnya. Kiranya di sini cukup untuk memberi pengertian kepada para pendukung kesetaraan gender, bahwa memaksakan kesetaraan antara laki – laki dan perempuan secara emosional khususnya dalam hal poligami adalah tindakan yang bertentangan dengan asas keadilan itu sendiri dan menggugat sunnatullah.
Dalam pengantar bukunya “Women in the Eyes and Heart of Muhammad”, Ali Syariati menyatakan bahwa Islam menentang diskriminasi kelamin (sek discrimination) secara diametris sekaligus juga tidak mendukung gagasan persamaan kelamin (sex, equality).  Dengan kata lain, Islam tidak menghendaki diskriminasi tetapi juga tidak meyakini ide persamaan laki – laki dan perempuan. Apa yang ingin dicapai adalah menempatkan keduanya pada kedudukan alamiahnya masing – masing dalam suatu masyarakat. Islam menilai diskriminasi sebagai kejahatan dan penyetaraan sebagai kesesatan. Peradaban manusia menentang yang pertama, dan kodrat alam menentang yang kedua. Alam tidak pernah menganggap perempuan lebih rendah ataupun sama dengan laki – laki. Alam menentukan keduanya sebagai perpaduan yang saling melengkapi dalam kehidupan masyarakat. Untuk itulah Islam mendukung ketentuan hak – hak alamiah bagi keduanya.
Argumen – argumen dengan nada emosional juga mereka lontarkan ketika menilai poligami menjadi penyakit – penyakit sosial dan masyarakat krisis moral. Kalau bicara soal ekses negatif, sebenarnya jika mau objektif, apapun memiliki resiko, tak terkecuali praktek monogami itu sendiri juga tidak terjamin dari ekses negatif. Namun terlihat poligami hanya dari aspek negatifnya saja dan penilaian yang tidak adil, emosional dan sama sekali tidak objektif. Semua tudingan negatif yang dialamtkan pada praktek poligami sebenarnya bukan disebabkan dari legalitas poligami, karena Islam jauh – jauh hari telah merumuskan keadilan sebagai haluan esensial menjalani poligami yang menjanjikan keharmonisan rumah tangga, melainkan lebih disebabkan komitmen pasangan poligami itu sendiri yang perlu dipertanyakan.
Terlantarnya anak dari kasih sayang, pendidikan dan perhatian orang tua sehingga tumbuh menjadi generasi liar yang dituduh lantaran poligami juga perlu disoal. Sebab tanpa praktek poligami pun tidak ada yang berani menjamin hal itu sirna.
Terbukti jika dilihat secara statistik daftar catatan kejahatan sipil pada departemen sosial, penyebab kejahatan yang ditimbulkan dari praktek poligami hanya menduduki level 3% dari 100% penyebab timbulnya kejahatan.
Angka 3% itu terlalu kecil untuk menyatakan legalitas poligami membahayakan. Maka tidak diragukan lagi pernyataan demikian sangat perlu diedit ulang, sebab logiskah dengan melarang poligami akan sanggup membasmi 97% penyebab timbulnya kejahatan di masyarakat.
Realitas alam yang menunjukkan ketidakseimbangan jumlah laki – laki perempuan ini hanya ada tiga pilihan bagi manusia dalam bersikap menjalani kehidupannya ;
1.      laki – laki menikahi seorang perempuan dan membiarkan perempuan lain tanpa suami sepanjang hayatnya.
2.      Laki – laki menikahi seorang perempuan secara resmi dan menggauli perempuan lain secara sirri atau ilegal
3.      Laki – laki menikahi lebih dari seorang perempuan dan menempatkan mereka dalam satu status isteri yang sah, resmi dan terhormat (poligami).
Maka, pilihan manakah yang sekiranya lebih manusiawi dan memberikan hak laki – laki serta menunjang martabat perempuan dalam status sosial masyarakat. Islam jelas menawarkan yang ketiga, poligami !. lebih dari itu, hikmah luar biasa poligami juga terlihat apabila memahami kebutuhan biologis manusia, dimana masa subur seorang laki – laki rata – rata mencapai usia 80 tahun bahkan lebih, sedangkan masa subur perempuan hanya terbatas pada kisaran usia 50/55 tahun yang secara medis usia menopause ini tidak lagi bisa memberi keturunan. Ada perbedaan jarak waktu 25/30 tahun masa subur laki – laki dalam rentang waktu 25/30 tahun akan menunaikan kesunahan nabi untuk memperbanyak keturunan.[6]



BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Apabila para penentang poligami mengklaim bahwa legalitas poligami merupakan praktek penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan, maka perlu direnungkan, manakah yang lebih manusiawi dan mengangkat harkat perempuan antara menjadikan perempuan sebagai bagian dari naungan (isteri) seorang suami dalam rumah tangga dengan membiarkan mereka hidup dalam kesendirian, tanpa perlindungan suami, tanpa hak yang bisa dituntut dari suami dan tanpa keturunan sepanjang hidupnya. Lebih mulia dan terhormat manakah antara menjadikan seorang perempuan sebagai isteri kedua, ketiga dan keempat dengan membiarkan mereka jauh dalam lembah nista perzinahan. Dan di manakah kepedulian terhadap nasib perempuan jika menolak poligami dan membiarkan (atau malah menerima) pelacuran, pornografi, perselingkuhan dan praktek – praktek mesum lainnya yang jelas – jelas menghinakan perempuan.
Lebih dari itu, untuk menjawab argumen ini semestinya cukup dengan melihat bagaimana dahsyatnya gelombang protes kaum perempuan menentang ajaran Katolik yang melarang poligami pasca Perang Dunia II yang membanjiri jalanan Eropa, terutama di Jerman, Austria dan Polandia sebagai akibat tewasnya jutaan manusia di medan perang yang paling dahsyat itu. Fenomena tersebut sekaligus menjadi bukti dan menepis penilaian bahwa poligami hanya untuk singgahan pemuasan hasrat seksual yang berlebihan. Dari sini bisa dipastikan bahwa poligami merupakan sebuah alternatif dari kebutuhan manusia.
Kecemburuan istri pertama yang sering disuarakan sebagai alasan keberatan menerima legalitas poligami memang bisa dimaklumi, karena perasaan cemburu memang telah menjadi naluri setiap manusia.
Seperti realitas larangan poligami yang diberlakukan di negara – negara Eropa, justru menyuburkan pergaulan bebas, seks bebas dan hubungan laki – laki perempuan tanpa batas yang praktis menghancurkan kehormatan wanita bahkan budi pakerti luhur kemanusiaan itu sendiri. Atau, memang fenomena dan realitas seperti itulah yang sebenarnya diinginkan dari perjuangan “pahlawan – pahlawan perempuan” itu sehingga mati – matian menentang legalitas poligami. Wa Allah A’lam.

DAFTAR ISI

Bab I   Pendahuluan.........................................................................................   1
A.    Latar Belakang...............................................................................   1
B.     Rumusan Masalah ..........................................................................   2
Bab II Pembahasan..........................................................................................   3
A.    Definisi Poligami............................................................................   3
B.     Analisa Sejarah Poligami................................................................   3
C.     Prokontra Poligami.........................................................................   4
    1. Poligami Dalam Pandangan Liberal.........................................   4
    2. Poligami Dalam Pandangan Feminis........................................   6
    3. Poligami Dalam Pandangan Islam............................................   7
Bab III Penutup................................................................................................ 10
A.    Kesimpulan..................................................................................... 10
Daftar Pustaka

Daftar Pustaka


- Purna siswa 2005 M,Lirboyo kediri,Kontekstualisasi Turast KOPRAL Team 2005
-  Al-Syekh Ibrahim al-bajuri,Al-Bajuri’ala Manhaj
-  Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-bujairomy, al-bujairomy ala al-khotib,-Dar al-kutub al-ilmiyah Beirut cet. II th 2003
- Team Kodifikasi Abituren 2007(DIFA'07), Dimensi Doktrinal, MHM Pon-Pes Lirboyo Kediri
-  Ahmad al-Jurjawi, al-Tasyrih wa Falsafatihi, al-Harohain
- Forum Pembukuan Bahtsul Masa-il Purna Siswa MHM, Mutiara Samudra Fiqh, Lirboyo Kediri, 2004
- Purna Siwa III Aliyah 2003 Pon-Pes Lirboyo Kediri Jawa Timur, Esensi Pemikiran Mujtahid


[1] Purna siswa 2005 M,Lirboyo kediri,Kontekstualisasi Turast KOPRAL Team 2005
[2] Al-Syekh Ibrahim al-bajuri,Al-Bajuri’ala Manhaj  Juz.3 Hal.332
[3] Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-bujairomy, al-bujairomy ala al-khotib, Dar al-kutub al-ilmiyah Beirut cet. II th 2003, vol IV hlm 90
[4] Team Kodifikasi Abituren 2007(DIFA'07),Dimensi Doktrinal,MHM PP Lirboyo Kediri, hlm 194
[5] Team Kodifikasi Abituren 2007(DIFA'07), MHM Pon-Pes Lirboyo Kediri, hlm 203
[6] Ahmad al-Jurjawi, al-Tasyrih wa Falsafatihi, al-Harohain, vol 2 hlm 10